Minggu, 09 Mei 2010

FORM DALAM ESTETIKA

FORM DALAM ESTETIKA
Oleh Firdaus Muhammad*

Filsuf A.G. Baumgarten (1714-1762) pada tahun 1750 memperkenalkan istilah estetika yang diambil dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “kemampuan melihat melalui penginderaan“. Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran.

Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)

Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.

Keindahan merupakan pengertian yang didalamnya tercakup sebagai aktivitas kebaikan. Plato misalnya menyebutkan tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Berbicara mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Bangsa yunani membedakan pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya “symmetria’ khusus untuk keindahan berdasarkan penglihatan (seni rupa) dan ‘harmonia’ untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Sehingga pengertian keindahan dapat saja meliputi : keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual.

Keindahan secara murni, menyangkut pengalaman estetis seseorang dalam kaitannya dengan sesuatu yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayati melalui indera. Ciri-ciri umum yang ada pada semua benda dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Ciri umum tersebut adalah sejumlah kwalita yang secara umum disebut unity, harmony, symmetry, balance dan contrast. Ciri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa keindahan merupakan satu cermin dari unity, harmony, symmetry, balance dan contrast dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata.

Transformasi pengalaman yang bersifat langsung ataupun tidak langsung yang dialami oleh setiap orang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan pada pengungkapan sebagai rasa yang pas, selaras dan hanya muncul ketika seseorang berhadapan dengan sebuah karya seni. Hasil karya seni seorang seniman tidak akan menjadi sebuah karya seni, bila karya tersebut tidak memiliki bentuk bermakna.

Dalam musik abstrak, bentuk bermakna meliputi relasi antar nada, irama. Bell mengakui bahwa seni memeliki nilai intrinsik, dengan demikian isi (conten) menjadi tidak relevan. Dalam hipotesis metafisis, Bell juga membedakan antara keindahan material (material beauty) dicontohkan keindahan sayap kupu-kupu, dan bentuk bermakna (sebagai keindahan non material). bukankah keduanya yang diungkapkan Bell adalah keindahan dari aspek bentuk, namun kita dapat melihat perbedaannya bahwa objek sebagai mana adanya, melainkan merasakan sebagai bentuk murni (pure form). Sebagi contoh, rasa terhadap sebuah kursi tidak terkait dengan kursi sebagai sarana fisik bagi kehidupan atau tempat untuk duduk, melainkan sebagai bentuk murni. Pengalaman akan bentuk murni dapat terjadi bila kita melihat objek sebagai tujuan didalan dirinya sendiri. Melalui bentuk murnilah dia merasakan rasa estetisnya.

Menyoal keindahan melalui unsur material objek, kita akan menemukan universalitas didalam partikularitas. Inilah tanah air bagi semua mistikus dan matematikus, artis dan pecinta seni serta mereka yang mencapai ekstasi yang telah membebaskan mereka dari aroganisasi humanitas. Maka timbul sebuah pertanyaan “Apakah pengalaman estetis ini merupakan religius, pengalaman akan Yang Maha Kuasa?“. Bell memberijawaban, sebut saja dengan nama yang kamu suka, sesuatu yang sedang ku bicarakan berbedadibalik penampakan segala hal – yang memberi segala hal signifikasi individualnya.
Gambaran mengenai pemahaman akan sebuah makna keindahan Andrew Cecil Bradley mengungkapkannya dengan “puisi untuk puisi”. Bahwa penilayan estetis atas sebuah puisi tidak memerlukan hal-hal lain di luar puisi itu sendiri. Puisi memiliki tujuan dalam dirinya sendiri yang merupakan sebuah “dunia” yang utuh lengkap dan cukup diri. Tidak ada cara lain untuk menilai sebuah puisi melainkan menceburkan diri kedalam “dunia” puisi dimana semua prasangka harus dilepaskan bahwa puisi diciptakan dalam konteks kebudayaan tertentu yang masing-masing memiliki nilai religius, sosial dan sebagainya selain nilai estetis itu sendiri. Kita mengalami puisi sebagi puisi didalam dirinya sendiri. Bila bentuk diubah, maka puisi tidak lagi menjadi puisi melainkan hanya sekedar rangkayan kata-kata kognitif belaka, kehilangan nilai puitis. Hal ini menunjukkan bahwa distingsi bentuk-isi tidak berkalu didalam pengalaman faktual.

Logika tentang bentuk estetis diungkapkan oleh de Witt Henry Parker dengan menitikberatkan pada isi (conten) sebagai ungkapan emosi seniman sebagai tanggapan atas pengalaman atau objek. Dicontohkan oleh Parker, sekuntum bunga bagi ahli botani dilukiskan sebagai fakta ilmiah dingin. Tetapi bagi seorang pelukis, sekuntum bunga yang sama dilukiskan sebagai ungkapan fakta (material) yang sekaligus “dimuati“ dengan ungkapan subjektifnya (emosi, perasaan, tanggapan). Sekuntum bunga menjadi medium bagi pengungkapan emosi estetis, hasil ungkapannya adalah lukisan sekuntum bunga dengan memilih warna dan garis agar menghasilkan bentuk tertentu yang paling optimal dan tepat sebagai tindakan kognitif, yaitu memilih warna dan garis.

Dalam pengalaman estetis, tika tidak lagi menaruh perhatian pada bentuk dan isi atau arti, ide secara terpisah, melainkan dialami dalam satu kesatuan utuh yang sempurna. Kesatuan antara medium pikiran dan perasaan, kekuatan kata dan arti, nada dan musik, rasa, warna dan kekuatan. Dengan demikian Paker menyimpulkan, bahwa kesatuan atau harmoni bentuk dan isi merupakan prinsip dasar dan cermin bentuk estetis dengan menyusun asas yang disebutnya sebagi logika bentuk estetis. Enam asas yang disebutnya sebagi logika bentuk estetis oleh Paker meliputi : asas ketuhanan, tema, variasi tematik, asas keseimbangan, asas perkembangan, asas tata jenjang.

Fungsi menemtukan bentuk yang akan dibangun. Bentuk “mengabdi” pada fungsi. Keindahan sebuah bangunan – baik masjid, gereja, istana, museum, , candi – ditentukan oleh fungsinya sebagai bentuk yang akan dibangun. Seperti keindahan (bentuk) kapal ditentukan oleh fungsi (‘determinasi’ internal) dan adap tasi terhadap lingkungan demi survival (‘determinasi’ eksternal). Secara konkret misalnya, mengapa candi Borobudur yang indah itu didirikan? Haratio Greenough secara khusus menyelidiki bentuk-bentuk arsitektural , mengajukan pemikirannya, bahwa secara internal bentuk ditentukan oleh fungsi, sedangkan secara eksternal ditentukan oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Tanpa kedua unsur ini maka sebuah bangunan arsitektur tidak didirikan dan tidak akan bertahan lama. Pandangan Greenough ini berasal dari pengamatannya terhadap ciptaan alam, baik benda mati maupun benda hidup.

Berbeda dengan tokoh-tokoh terdahulu yang mengkaji bentuk sebagai bentuk, maka Mayer Secapiro meletakkan bentuk dalam arus sejarah. Untuk satu priode tertentu, terdapat bentuk dominan yang relatif konstan dan dapat dibedakan dari bentuk konstan pada priode yang lain. Bentuk kostan itu ini disebut style (gaya) yang merupakan pengungkapan personalitas penciptaan juga pengungkapan jiwa kebudayaan , jiwa zaman pada masa karya seni tersebut diciptakan seniman dan pandangan pandangan umum yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi, perkembangan historis kebudayaan yang bersangkutan akan menyebabkan perubahan style secara histiris pula. Karena itu, style dapat menjadi sarana penting bagi – walaupun bukan satu-satunya bagi para sejarawan untuk keperluan priodesasi dalam sejarah seni dengan mempertimbangkan aspek style utama yang bersifat paling umum dan paling stabil yaitu, bentuk, relasi-relasi bentuk, kualitas.

* Mahasiswa jurusan teater STSI Bandung, aktivis dan penyair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar