Sajak Firdaus Muhammad
Cinta Semu
Aku memanggilmu sebagai kesunyian
Datang, pergi, kembali
Seperti musim yang selalu meninggalkan kenangan
Aku bertanya, untuk apa kau ada?
Aku menginginkanmu sebagai keabadian
Bukan musim yang selalu berganti
Mengukir kepedihan air mata genangi lautan
Yang akan menenggelamkan ku dalam samudra luka
Ku nyalakan seribu lilin
Untuk meluluhkan keberadaanmu yang semu.
Menyisir Rindu
Aku menyentuhmu lewat jemari angin
Melepaskan kerinduan pada hutan belantara di dadamu
Ku usap kelopak matamu dari kelembaban angin malam
Perlahan ku sapa namamu
Melewati pilar-pilar penopang kalbu yang lemah
Memilihku sebagai tempat pertapaan terakhir
Maka aku pun memutuskan untuk menjadi imam bagimu
Sejak saat itu
Rumahmu selalu aku kunjungi
Dengan lantunan salam
Aku mengetuk pintu menjenguk hatimu
Seiring malam yang mengalun
Ku titipkan bekal cinta pada sayup-sayup angin
untuk mengabarimu
dan kepada goresan hujan untuk membasahi tanah
Agar mudah kita membangun rumah.
Lampion Buat Windar Gusyana
Kali ini payung emas menari berputar
Memberi warna lembayung pada angkasa
Lampion-lampion menghiasi bibir-bibir pantai
Tempat Windar terdampar
Seruling peluh menyatu dalam riuh gamelan
yang membelah ombak pada lautan
Windar, menyapa dengan selendang kebimbangan
Pada hamparan pasir putih ia menabur
yang di sapu ombak menuju ke pulau sebrang
Aku ingin menuntaskan lelahku sampai di penghujung malam
Mekarlah klodipiaku di taman sorga yang sama-sama kita impikan
Agar subuh tak lagi hilang di telan raja siang
Bila malam telah menyambutmu untuk tidur
Maka aku pun menunggumu di garda mimpi
Pada kegelisahanku
Ku hirup udara malam yang dingin
dengan secangkir kopi kerinduan
Setiap nafas ku cium aromamu dari belayan angin yang melintas
Ku hitung orbit langit yang beredar dengan kelenturannya
Kabut yang menyelimuti malam
Secarik kertas ku tuliskan syair-syair untukmu
Windar, kuberikan lampion yang paling gelap
Hujan Rudal
Israel-Palestina sedang berkabung
Hujan rudal banjiri Gaza
Darah-darah berceceran di jalanan, permukiman dan perkantoran
Yang tak berdosa jadi korban keserakahan penguasa
Berebut lahan dan kekuasaan
Tak perduli rumah tuhan
Pasukan berjaga di garis pertahanan
Berbaju besi anti peluru
Siang malamkesunyian menjadi tangisan kegetiran
Tak henti mayat berjatuhan
Kapan pulih kedamayan
Tak ada lagi suara ledakan, tembakan, ketegangan
darah dan mayat yang berceceran.
Biru Langit
(kepada yang memanggilmu)
Aku melihatmu
Membawa permata dari kejauhan
Musim gugur yang melelahkan sepanjang jalan
Seperti kesunyian abadi
Kau maha biru
Ulurkan tanganmu sekarang untuk mengenal wajahmu
yang ingin kau tawarkan dalam sepekan
Atau dalam abad yang bisu
Indah wajahmu yang mewarnai panorama
Ku cium jejakmu lewat keresahan
Mencari aromamu sendiri
Hingga tenggelamnya matahari
Tak kutemukan juga nama itu yang hilang di bawa deru debu.
Pesta Mati Lampu
Ketika ku tulis sajak dalam gelap
dan cahaya tak kunjung tiba
Namun tak sudahi sunyi di ruang kerja
Kopi
menjadi kering dalam cawan kehausan
Ruang kerja kita menutup lembaran
yang akan kita layangkan saat kemunculan senja di taman pesta
Namun sebelum pesta itu terusung dalam panggung
Hati ini telah merayakan pesta kematiannya
Tanpa suara
Tawa canda mengubur cinta dalam kemeriahan bukit cahaya
Suara tetabuhan genderang meradang di telinga
Biola yang menyentuh menyatu dalam suara sunyi
Kerontang jiwa tak terlepaskan dalam pesta mati lampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar