Minggu, 09 Mei 2010

Idiologi dan Persoalan Kebangsaan

Idiologi dan Persoalan Kebangsaan
Oleh Firdaus Muhammad*

“Bangsa dalam sejarahnya terbentuk dari komunitas masyarakat yang stabil atau tertentu, yang terbentuk berdasarkan sebuah kesamaan bahasa, teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, dan perubahan psikologi, yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama”. Sebuah bangsa dalam sejarahnya tidak muncul secara tiba-tiba tetapi muncul dalam periode sejarah tertentu, yaitu masa munculnya kapitalisme (Joseph dalam pamfletnya Marxism and The National Question). Sebuah komunitas layak disebut bangsa jika memiliki empat syarat tertentu yang bersifat materialistik yang hanya muncul dalam formasi ekonomi kapitalistik. Persyaratan ini pula yang membedakan antara pengertian bangsa dengan suku dan gens. Jadi, bangsa bukanlah sebuah ekspresi psikologis yang terbentuk melalui kesamaan kesadaran subyektif, tetapi merupakan sebuah kenyataan obyektif seperti yang dikemukakan oleh Otto Bauer.
Suatu bangsa pada hakikatnya ingin melestarikan dirinya serta organisasi negaranya. Pelestarian ini memerlukan jaminan, baik yang langsung dapat dimanfaatkannya untuk mendukung pelestarian tersebut, antara lain berupa kebutuhan materiil dan spiritual, maupun yang tidak memberikan jaminan kepastian dan pengayoman, seperti lazimnya dalam hal jaminan yang berupa ketentuan moral maupun hukum (Carlton C. Rodee ;1995). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keuletan dan kemampuan suatu bangsa dalam merespon gangguan dan ancaman itu merupakan kondisi dan sikap yang strategis. Dalam konteks inilah pergulatan ideologi bangsa untuk membangun ketahanan dan daya saing, terutama dalam percaturan global.
Kita tahu, belum sampai satu abad indonesia merdeka, namun problem kebangsaan yang dihadapi bangsa ini, begitu kompleks dan serius. Bila dirunut, basis masalah kebangsaan yang kita hadapi, niscaya berakar pada pudarnya nasionalisme dan patriotisme bangsa. bila hal ini tidak segera diatasi dengan pendekatan yang revolusioner, maka akumulasi dan komplikasi masalah kebangsaan ini akan semakin meningkat dan menjadikan keterpurukan bangsa Indonesia tidak bisa terelakkan lagi.
Masalah Kebangsaan yang di pacu dengan adanya berbagai ketidaksesuaian (kontradiksi) antara elemen yang satu dengan elemen lainnya dalam suatu bangsa dikarenakan adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak yang kuat yang merugikan elemen yang paling lemah dalam suatu bangsa. Dengan sebab tersebuat maka idiologi sebagai landasan dalam menangani bermacam-macam persoalan perlu ditamamkan pada diri pribadi mengenai pemahaman ideologi Pancasila dan UUD 1945, niscaya ini bisa menjadi sebuah gerakan bersama demi menjaga Indonesia agar tidak terpuruk karena pengaruh perkembangan global.
Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh beberapa kelompok (Lyman Tower Sargent ;1987). Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh filsuf Prancis, Destutt de Tracy, pada 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang ia rancang mengenai analisis sistematik tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya, kombinasinya dan akibat yang ditimbulkannya. Seperti yang di ugkapkan Soedjatmoko dalam Seminar Sejarah Nasional yang pertama. Dalam ranah kebangsaan, ketahanan ideologi tersebut memerlukan semacam tilikan diri ke dalam untuk mengidentifikasi dan memetakan masalah yang selama ini menghambat aktualisasi dan implementasi pancasila. Di sini diperlukan kejujuran dan kecermatan dalam menilai dan menganalisis masalah yang sifatnya prinsipil, strategis, urgen, dan mana yang tidak.
Dalam ketahanan ideologi ini pula, pancasila harus dijadikan rasional tidak berarti "mempersoalkan" pancasila. Kita mencoba memahami spirit yang dikandung dalam revitalisasi dan rasionalisasi pancasila sebagai tekad dan gagasan kemajuan untuk memberikan semacam garansi bagi terbangunnya ketahanan ideologi secara terarah dan berkesinambungan. Dengan semakin banyaknya persoalan yang belum terselesaikan sampai saat ini, pembangunan nasional yang menyangkut sumber daya manusianya, sikap mental, integritas, dan kompetensi sebagai daya ungkap suatu bangsa dalam metap hari depan yang lebih baik. Seperti kemiskinan, kancah perpolitikan yang memanas, parlemen yang tidak beres mengurusi persoalan seperti kasus Century yang berlarut-larut dan hal ini akan berakibat pada meningkatnya risiko investasi di Indonesia.
Persoalan tersebut harus diselesaikan sebagai agenda yang mendesak untuk segera dikerjakan bersama-sama. Upaya seperti ini akan sangat memungkinkan untuk menghasilkan etos berbangsa dan bernegara dengan spirit ideologi pancasila, sehingga Indonesia mapan dalam merealisasi pembangunan nasionalnya.

*Mahasiswa Jurusan Teater Semester IV.

FORM DALAM ESTETIKA

FORM DALAM ESTETIKA
Oleh Firdaus Muhammad*

Filsuf A.G. Baumgarten (1714-1762) pada tahun 1750 memperkenalkan istilah estetika yang diambil dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “kemampuan melihat melalui penginderaan“. Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran.

Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)

Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.

Keindahan merupakan pengertian yang didalamnya tercakup sebagai aktivitas kebaikan. Plato misalnya menyebutkan tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Berbicara mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Bangsa yunani membedakan pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya “symmetria’ khusus untuk keindahan berdasarkan penglihatan (seni rupa) dan ‘harmonia’ untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Sehingga pengertian keindahan dapat saja meliputi : keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual.

Keindahan secara murni, menyangkut pengalaman estetis seseorang dalam kaitannya dengan sesuatu yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayati melalui indera. Ciri-ciri umum yang ada pada semua benda dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Ciri umum tersebut adalah sejumlah kwalita yang secara umum disebut unity, harmony, symmetry, balance dan contrast. Ciri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa keindahan merupakan satu cermin dari unity, harmony, symmetry, balance dan contrast dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata.

Transformasi pengalaman yang bersifat langsung ataupun tidak langsung yang dialami oleh setiap orang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan pada pengungkapan sebagai rasa yang pas, selaras dan hanya muncul ketika seseorang berhadapan dengan sebuah karya seni. Hasil karya seni seorang seniman tidak akan menjadi sebuah karya seni, bila karya tersebut tidak memiliki bentuk bermakna.

Dalam musik abstrak, bentuk bermakna meliputi relasi antar nada, irama. Bell mengakui bahwa seni memeliki nilai intrinsik, dengan demikian isi (conten) menjadi tidak relevan. Dalam hipotesis metafisis, Bell juga membedakan antara keindahan material (material beauty) dicontohkan keindahan sayap kupu-kupu, dan bentuk bermakna (sebagai keindahan non material). bukankah keduanya yang diungkapkan Bell adalah keindahan dari aspek bentuk, namun kita dapat melihat perbedaannya bahwa objek sebagai mana adanya, melainkan merasakan sebagai bentuk murni (pure form). Sebagi contoh, rasa terhadap sebuah kursi tidak terkait dengan kursi sebagai sarana fisik bagi kehidupan atau tempat untuk duduk, melainkan sebagai bentuk murni. Pengalaman akan bentuk murni dapat terjadi bila kita melihat objek sebagai tujuan didalan dirinya sendiri. Melalui bentuk murnilah dia merasakan rasa estetisnya.

Menyoal keindahan melalui unsur material objek, kita akan menemukan universalitas didalam partikularitas. Inilah tanah air bagi semua mistikus dan matematikus, artis dan pecinta seni serta mereka yang mencapai ekstasi yang telah membebaskan mereka dari aroganisasi humanitas. Maka timbul sebuah pertanyaan “Apakah pengalaman estetis ini merupakan religius, pengalaman akan Yang Maha Kuasa?“. Bell memberijawaban, sebut saja dengan nama yang kamu suka, sesuatu yang sedang ku bicarakan berbedadibalik penampakan segala hal – yang memberi segala hal signifikasi individualnya.
Gambaran mengenai pemahaman akan sebuah makna keindahan Andrew Cecil Bradley mengungkapkannya dengan “puisi untuk puisi”. Bahwa penilayan estetis atas sebuah puisi tidak memerlukan hal-hal lain di luar puisi itu sendiri. Puisi memiliki tujuan dalam dirinya sendiri yang merupakan sebuah “dunia” yang utuh lengkap dan cukup diri. Tidak ada cara lain untuk menilai sebuah puisi melainkan menceburkan diri kedalam “dunia” puisi dimana semua prasangka harus dilepaskan bahwa puisi diciptakan dalam konteks kebudayaan tertentu yang masing-masing memiliki nilai religius, sosial dan sebagainya selain nilai estetis itu sendiri. Kita mengalami puisi sebagi puisi didalam dirinya sendiri. Bila bentuk diubah, maka puisi tidak lagi menjadi puisi melainkan hanya sekedar rangkayan kata-kata kognitif belaka, kehilangan nilai puitis. Hal ini menunjukkan bahwa distingsi bentuk-isi tidak berkalu didalam pengalaman faktual.

Logika tentang bentuk estetis diungkapkan oleh de Witt Henry Parker dengan menitikberatkan pada isi (conten) sebagai ungkapan emosi seniman sebagai tanggapan atas pengalaman atau objek. Dicontohkan oleh Parker, sekuntum bunga bagi ahli botani dilukiskan sebagai fakta ilmiah dingin. Tetapi bagi seorang pelukis, sekuntum bunga yang sama dilukiskan sebagai ungkapan fakta (material) yang sekaligus “dimuati“ dengan ungkapan subjektifnya (emosi, perasaan, tanggapan). Sekuntum bunga menjadi medium bagi pengungkapan emosi estetis, hasil ungkapannya adalah lukisan sekuntum bunga dengan memilih warna dan garis agar menghasilkan bentuk tertentu yang paling optimal dan tepat sebagai tindakan kognitif, yaitu memilih warna dan garis.

Dalam pengalaman estetis, tika tidak lagi menaruh perhatian pada bentuk dan isi atau arti, ide secara terpisah, melainkan dialami dalam satu kesatuan utuh yang sempurna. Kesatuan antara medium pikiran dan perasaan, kekuatan kata dan arti, nada dan musik, rasa, warna dan kekuatan. Dengan demikian Paker menyimpulkan, bahwa kesatuan atau harmoni bentuk dan isi merupakan prinsip dasar dan cermin bentuk estetis dengan menyusun asas yang disebutnya sebagi logika bentuk estetis. Enam asas yang disebutnya sebagi logika bentuk estetis oleh Paker meliputi : asas ketuhanan, tema, variasi tematik, asas keseimbangan, asas perkembangan, asas tata jenjang.

Fungsi menemtukan bentuk yang akan dibangun. Bentuk “mengabdi” pada fungsi. Keindahan sebuah bangunan – baik masjid, gereja, istana, museum, , candi – ditentukan oleh fungsinya sebagai bentuk yang akan dibangun. Seperti keindahan (bentuk) kapal ditentukan oleh fungsi (‘determinasi’ internal) dan adap tasi terhadap lingkungan demi survival (‘determinasi’ eksternal). Secara konkret misalnya, mengapa candi Borobudur yang indah itu didirikan? Haratio Greenough secara khusus menyelidiki bentuk-bentuk arsitektural , mengajukan pemikirannya, bahwa secara internal bentuk ditentukan oleh fungsi, sedangkan secara eksternal ditentukan oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Tanpa kedua unsur ini maka sebuah bangunan arsitektur tidak didirikan dan tidak akan bertahan lama. Pandangan Greenough ini berasal dari pengamatannya terhadap ciptaan alam, baik benda mati maupun benda hidup.

Berbeda dengan tokoh-tokoh terdahulu yang mengkaji bentuk sebagai bentuk, maka Mayer Secapiro meletakkan bentuk dalam arus sejarah. Untuk satu priode tertentu, terdapat bentuk dominan yang relatif konstan dan dapat dibedakan dari bentuk konstan pada priode yang lain. Bentuk kostan itu ini disebut style (gaya) yang merupakan pengungkapan personalitas penciptaan juga pengungkapan jiwa kebudayaan , jiwa zaman pada masa karya seni tersebut diciptakan seniman dan pandangan pandangan umum yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi, perkembangan historis kebudayaan yang bersangkutan akan menyebabkan perubahan style secara histiris pula. Karena itu, style dapat menjadi sarana penting bagi – walaupun bukan satu-satunya bagi para sejarawan untuk keperluan priodesasi dalam sejarah seni dengan mempertimbangkan aspek style utama yang bersifat paling umum dan paling stabil yaitu, bentuk, relasi-relasi bentuk, kualitas.

* Mahasiswa jurusan teater STSI Bandung, aktivis dan penyair.

TEATER dan KREATOR TEATER

TEATER dan KREATOR TEATER
Oleh Firdaus Muhammad*

Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah dan pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat yang memiliki unsur-unsur teatrikal dan filosofis.

Teater dalam pengertiannya sebagai seni pertunjukan yang menampilkan lakon di atas pentas yang diperankan oleh aktor dan disaksikan oleh penonton, dan mampu mengungkapkan sebuah gagasan, baik secara tematik maupun secara visual. Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan.

Seperti halnya bahasa, teater dapat menonjolkan atau membuat sesuatu yang aneh, asing, atau lain (make strange) unsur-unsur yang spesifik dari pemangungan sebagai cara untuk menciptakan makna yang lain sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi tanda. (Indarti, 2004 : 102).

Kerap kali terjadi didalam pertunjukan teater, gagasan tidak tersampaikan secara baik kepada apresiatornya, mengenai esensi yang diinginkan oleh kreatornya. Hal inilah kemudian menjadikan pertunjukan teater itu dianggap membingungkan. Dari persoalan tersebut, hal yang perlu di perhatikan oleh kreator-kreator teater adalah bagaimana didalam mengemas sebuah pertunjukan dan mampu mewujutkan keutuhan (unity) dari bentuk dan gagasan melalui medium-mediun yang divisualisasikan sehingga subtansi itu dapat diterima oleh penontonnya. Memang bukan pekerjaan mudah barangkali, wawasan dan wacana kreatornya pun perlu dipertanyakan. Sejauh mana ia menguasai wacana yang akan divisualisasikan dengan wawasan yang dia miliki.

Pengalaman individu seorang kreator teater yang harus peka akan lingkungannya, mengenai isu-isu sosial, politik, hukum, pendidikan, ekonomi, agama dan perkembangan isu-isu dunia lainnya. Sehingga kemampuan motorik dan fisikomotoriknya berkerja untuk mewujutkan gagasannya kedalam sebuah karya seni pertunjukan, melalui dipertimbangan citra-rasa yang diperoleh dari pengalaman inderawi dan sikap estetisnya.

Kreator teater biasanya dikenal dengan sebutan sutradara atau pemimpin pertunjukan, berkerja merencanakan sebuah pementasan, yaitu mulai dengan menentukan lakon, menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan gaya pementasan, memahami dan mengatur blocking serta melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan seluruh pekerja artistik hingga karya teater benar-benar siap untuk dipentaskan.

Keberhasilan sebuah pertunjukan teater mencapai takaran artistik yang diinginkan sangat tergantung oleh kepiawaian sutradaranya. Dengan demikian sutradara menjadi salah satu elemen pokok dalam teater modern. Oleh karena kedudukannya yang tinggi, maka seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan pementasan yang akan di sajikannya.

Ruang dialektika seorang kreator teater dalam mengasah kemampuannya, mengenai wacana kesenian sebagai investasi budaya menjadikan sebuah acuan untuk teater mengaktualisasikan masalah-masalah yang terkait di dalamnya. Di dalam tulisan ini saya menganbil salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Teatre For Developmen And Education (TDE) untuk menjembatani tulisan saya mengenai kreator teater dengan alasan bahwa konten yang ditawarkan oleh TDE mumpuni untuk diapresiasi oleh kalangan luas sebagai referensi keilmuan dalam teater.

Workshop Teatre For Developmen And Education (TDE) yang diselenggarakan di CCL (Celah Celah Langit) Bandung, bekerjasama dengan Teatre Embassy, KELOLA dan USP yang berlangsung selama tiga hari (9 – 11 April 2010) lalu. Tema yang diusung adalah “Teater Lingkungan”, dengan berbagai materi yang disampaikan diantaranya : Penjelasan Apa Itu TDE oleh Ekbert Wits, Wawasan Budaya oleh Prof. Jakob Sumarjo, Wawasan Lingkungan oleh T. Bachtiar. Didalam worshop, materi game-geme yang merangsang sensibilitas dan sensitivias juga dilakukan seperti game “bola lempar, sebutkan namamu dan nama yang dilempar bola” dan masih banyak game yanglainnya dipandu oleh Iman Soleh.

* Mahasiswa jurusan teater STSI Bandung, aktivis dan penyair.

Sabtu, 08 Mei 2010

Profile Sanggar Seni Ngengade


Nama : Sanggar Seni Ngengade
Alamat : Jl. Sriwijaya (Lrg. H.Mahmud) Kuala Tungkal – Jambi 365111

Telp : 0852 669 18347

Email : sanggarseningengade@yahoo.co.id


Sanggar Seni Ngengade dideklarasikan pada 31 Maret 2007 oleh pemuda-pemuda Tanjung Jabung Barat yang mencakup dari berbagai aliansi. Diantaranya, Nanang Maulana, Muhammad Firdaus S.E, Julaidi, Iwan Suhendra, Agung Gumelar, M. Iqbal. Keanggotaannya dari pelajar, mahasiswa, dan wiraswasta. Dari kesamaan tekat yang akan dibangun dan digagas bersama, maka Sanggar Seni Ngengade didirikan sebagi kantung budaya untuk wadahi ide dan gagasan para anggotanya. Sebagai wadah bersama untuk pematangan, pemberdayaan dan pengelolaan karya-karya seni pertunjukan lintas disiplin seni dan lintas profesi dan mempunyai efek pada dinamika kehidupan sosial.

Sanggar Seni Ngengade adalah sebuah komunitas belajar berbasis seni, seperti teater, tari, penulisan kreatif dan musik, berkedudukan di Kuala Tungkal.

Visi dan misi Sanggar Seni Ngengade adalah menjadi wadah kreativitas yang terbuka dan produktif, untuk menyuarakan, memperkaya dan meluaskan penjelajahan seni, dengan cara menjalin dan memfasilitasi kerjasama antar penggiat seni dengan masyarakat marjinal dan mempromosikan potensi kreatifnya melalui jalan seni.

Sanggar Seni Ngengade ingin menjadi mediator, fasilitator dan promotor yang representatif untuk pencapaian kreativitas lintas disiplin seni dan profesi dari pertemuan gagasan keunikan individu dan tanggung jawab riset untuk melahirkan bermacam seni pertunjukan.